“Awalnya, medali itu begitu saya mimpikan,
begitu saya inginkan. Semua usaha dan peluh hanya untuknya. Tetapi, kini
rasanya sekeping benda itu hanyalah logam kosong, hampa dalam lemari kaca yang
gelap. Hingga akhirnya saya tersadar, Medali yang sesungguhnya adalah semua
rangkaian cerita indah yang merangkai semua perjalan itu. Perjalanan yang
dimulai dari dan bersama kalian.”
Sebuah Tanya
“Menurutmu Sob, apa sih
definisi dari ‘prestasi’ itu?” Tanya salah seorang sahabat saya suatu hari
diantara jeda kosong waktu kuliah. “Iya, ngapain sih kamu belajar susah-susah?
Nyante aja lah, enjoy your life” Timpal sahabat saya yang lain, sambil
memainkan gadgetnya. Dua pertanyaan yang singkat sebenarnya, tetapi membuat
saya terdiam cukup lama. Semilir angin berhembus diantara kita bertiga, detik
demi detik berlalu, belum pernah sekelumit pertanyaan membuat saya terdiam
membisu.
Sungguh tamparan keras, bahwa
sedari kecil menghabiskan bertahun-tahun ‘belajar’ di sekolah, malang-melintang
berjuang di berbagai kompetisi mengejar apa yang disebut dengan ‘prestasi’. Saya
hampir tidak pernah benar-benar memaknai arti kata tersebut sedikitpun. Sempat
terpikirkan, benarkah kita sudah benar-benar ‘belajar’, benarkan daftar ‘prestasi’
yang telah diukir layak dibanggakan?
Awal Mula
Saat memikirkan jawaban dari dua
pertanyaan itu, benak saya kembali ke masa-masa ketika saya masih berada di MAN
Insan Cendekia Serpong. Itulah masa ketika saya yang berasal dari kota di timur
jawa sana, mendapat kesempatan untuk belajar di Ibukota, Kota Tangerang Selatan
tepatnya. Di sanalah saya terlibat dengan salah satu kompetisi paling elit dan
prestisius untuk cendekiawan muda bangsa ini: Olimpiade Sains Nasional (OSN).
Mengingat ini adalah salah
satu kompetisi yang sangat ditunggu-tunggu, OSN bukan sesuatu kata yang asing
bagi saya. Sejak di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs),
saya sudah biasa dengan kata ini. Tetapi, mengikutinya hanyalah sebuah mimpi,
apalagi mendapatkan medalinya – tidak tergapai. Ibarat dikata, bagai pungguk
merindukan bulan.
Dimulai dari Mimpi
Bulan September selalu
menjadi momok penting bagi sekolah kami. Di bulan ini, perhelatan OSN biasanya
selesai dilaksanakan. Hasilnya selalu membuat semua orang ‘deg-degan’. Medali
yang dibawa pulang oleh olimpiannya, akan menjadi acuan seberapa kuat posisi
sekolah kami diantara Sekolah Negeri, Sekolah Katolik, Sekolah Kristen, dan
Sekolah Asing lainnya di negeri ini. Medali itu pula yang menjadi salah satu
daya tawa sekolah kami dihadapan Kementrian Agama, penyandang dana beasiswa
penuh bagi siswa-siswinya saat itu. Dibalik itu semua, poin utama adalah
menunjukkan bahwa Madrasah Aliyah, yang biasa dianggap remeh di tempat lain,
juga bisa ber’taji’ kok dan Insan Cendekia berusaha untuk menjadi salah satu dari
ujung tombaknya.
Alhasil, kontingen di sekolah
kami selalu ditunggu-tunggu. Foto mereka dipajang dengan baliho besar. Medali
mereka berjejeran di ruang utama sekolah, dan tentu saja: namanya akan dikenal
hingga bertahun-tahun setelahnya.
Karena inilah, pendaftaran untuk
Tim Olimpiade baru di bulan Oktober-November selalu ramai. Tidak sedikit yang
mendaftar hanya untuk mencoba-coba dan mencari peruntungan. Banyak anak yang
galau dengan pilihan bidangnya, galau dengan materi seleksi awal yang benyak
nan berat. Banyak pula veteran OSN dari SMPnya dulu yang yakin dan percaya
diri. Waktu itu semester pertama saya di Insan Cedekia, tahun 2009. Ya, diwaktu
inilah semua impian dan mimpi dirangkai, berharap suatu waktu akan terkabul.
Poin pertama yang saya
pelajari, bahwa semua hal berawal dari mimpi, harapan dan juga tujuan. Jika
kita memimpikannya saja tidak berani? Mana ada cerita kita akan berani untuk
bergerak dan mewujudkannya?
Belajar untuk Ibadah
Bahkan, sejak seleksi tingkat
sekolah, persaingan sudah berat. Banyak anak yang sudah modar-mandir membawa
buku-buku tebal berbahasa inggris setara bahan kuliah mahasiswa. Mereka selalu
membacanya disela waktu perpindahan kelas ketika guru belum datang, disela istirahat,
bahkan ada yang membacanya ketika sedang senam bersama di hari Sabtu pagi!
–sambil senam-.
Ketika malam, seketika
suasana di asrama seketika berubah; buku buku pelajaran umum untuk sementara
disingkirkan, topik-topik pembiacaraan berubah menjadi teorema dan prostulat
dari ahli-ahli ternama, hingga berburu materi dan belajar dari kakak kelas yang
sudah berpengalaman tahun sebelumnya. Waktu itu saya memilih bidang yang
merupakan kesenangan saya sejak lama, Astronomi. Disinilah balada perjuangan
kami dimulai.
Islam, selalu mengajarkan
ummatnya untuk terus menerus belajar, dimanapun dan kapanpun selama kita masih
bernapas – Uthlubul ‘ilma walaw bishshiin - bahkan hingga negeri Cina.
Pun demikian dengan semangat calon-calon Olimpian Insan Cendekia. Pada bidang
apapun dan kapanpun kita belajar, tujuannya hanya satu; untuk membawa nama
besar Islam, sebagai rahmatan lil alamin – rahmat untuk semesta raya
salah satunya lewat jalan keahlian ummatnya yang pandai nan cerdas di berbagai
bidang. Saya selalu berpikir, belajar adalah cara paling indah untuk
mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Alhamdulillah, dengan
perjuangan yang panjang dan melelahkan, saya lolos dan terpilih untuk menjadi
Tim Sekolah dalam kompetisi di Olimpiade Sains Kota/Kabupaten (OSK) pada tahun
2010. OSK adalah tantangan yang berat, karena banyak sekolah unggulan level
nasional yang berlokasi berdekatan di kota kami. Dengan berbekal pelatihan
berminggu-minggu lamanya, kontingen saat itu berjuang dengan keras untuk
mengharumkan nama madrasah.
Poin kedua yang saya
pelajari, bahwa semua hal yang berawal dari mimpi harus berani diwujudkan dan
diperjuangkan. Mimpi itu setipis embun pagi, mudah untuk menguap dan hilang
bagi kita yang bermalas-malasan. Mimpi itu juga sekuat baja dan besi, kokoh dan
keras bagi kita yang berjuang tanpa kenal menyerah untuk menwujudkannya.
Batu Besar Bernama Kegagalan
Seusai perhelatan OSK tahun
2010, hari-hari setelahnya diisi dengan berdoa dan berdoa. Berdoa pada sebuah
keajaiban agar bisa lolos ditahun pertama.
Hingga akhirnya sampai juga
pada hari pengumuman. Dengan hati gaduh dan keringat dingin. Saya melihat papan
pengumuman. Alhamdulillah peringkat lima! Yes! Dalam hari saya. Dari
tahun ke tahun, kota kami selalu mengirimkan peringkat lima besar untuk berlaga
di tingkat yang lebih tinggi, di Olimpiade Sains Provinsi (OSP). Maka
dimulailah lagi balada perjuangan yang berat.
Menjadi kontingen Olimpiade
di Insan Cendekia bukanlah hal yang mudah. Selain harus berjibaku dengan
tuntutan akademik dan keasramaan sekaligus, kami memiliki tanggungjawab lebih
untuk belajar materi Olimpade. Seringkali juga, jadwal lombanya bertabrakan
dengan Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Sekolah (UAS), yang berarti
kami harus menyusul semua ujian kami dilain waktu. Bahkan beberapa orang,
kebetulan diamanahi di OSIS ataupun kepanitiaan besar lainnya. Kombinasi
beberapa hal ini yang sering membuat patah arang, tetapi saya percaya kita
harus memperjuangkan semuanya yang terbaik.
Kami, para kontingen,
benar-benar belajar dengan keras dan berat. Menghabiskan banyak waktu belajar
di luar kelas secara mandiri, di perpustakaan, di laboratorium di manapun kami
bisa untuk belajar. OSP tahun 2010 kebetulan bertepatan dengan UTS, yang
membuat kami memiliki pilihan yang sulit; belajar Olimpiade atau Ujian. Tapi,
saya meyakinkan diri saya, saya harus belajar Olimpiade dengan serius.
Ujiannya nanti dipikirkan setelah lomba, batin saya dengan mental baja.
Hingga tanpa terasa hari demi
hari berlalu, semakin dekat dengan perlombaan. Akhirnya ketika H-2 lomba
munculah berita buruk: Keikutsertaan saya dibatalkan. Kota hanya mengirimkan
tiga peserta terbaiknya tahun ini, yang berarti saya gagal untuk diikutkan. Mimpi
terburuk bagi olimpian manapun yang sudah mengorbankan banyak, UTS dan
Organisasinya, untuk sesuatu yang tidak terjadi. Begitu diberi kabar itu, dunia
saya seakan runtuh, hati saya begitu teriris-iris. Ibarat diterbangkan begitu
tinggi hanya untuk dihempaskan jauh kebawah, sakit dan sedih - sangat. Saat
itu, saya berjalan dengan gontai ke asrama. Berusaha tidur untuk waktu yang
lama, meratap sendu dalam diam dan berharap melupakan ini semua.
Poin ketiga yang saya
pelajari, bahwa semua awal yang diperjuangkan kadang tidak meiliki akhir yang
sesuai dengan harapan. Tidak semua doa yang kita ukir di langit, serta merta
dikabukan oleh yang Maha Pencipta. Tetapi percayalah ketika kegagalan itu
menghampiri, bahwa Allah pasti sudah menyiapkan segala sesuatunya yang terbaik
untuk setiap hamba-Nya yang berusaha.
Fight back!
|
Latihan Observasi Benda Langit di Insan Cendekia. Sumber Dokumentasi Pribadi |
“Seseorang tidak dilihat bagaimana cara dia
terjatuh, tetapi dilihat bagaimana cara dia bangkit.”
Setelah kegagalan menyakitkan
pada tahun 2010, saya mencoba untuk bangkit dan berjuang kembali di tahun 2011.
Amanah yang semakin besar di OSIS dan Acara tidak menyurutkan saya untuk terus
berusaha. Belajar dari pengalaman di tahun tersebut, saya mempersiapkan dengan
baik pada tahun 2011. Saya belajar Astronomi dengan sangat keras setiap harinya
sampai-sampai hampir tidak menyentuk mata pelajaran yang lain. Waktu untuk
istirahat dan bermain, yang awalnya sudah sedikit, benar-benar saya kurangi.
Hanya menyisakan waktu untuk organisasi yang sangat saya cintai. Sekolah, OSIS dan
sisanya Olimpade. Sesuatu pola yang akhirnya membentuk mental saya hingga saat
ini.
Akhirnya OSK dan OSP yang
tahun lalu gagal dapat dilalui. Alhamdulillah, sampailah pada perjuangan
puncak di tingkat nasional. Pelatihan
menuju OSN menjadi pelatihan yang paling berat. Tidak mau gagal membuat
saya mengurangi waktu tidur menjadi 3-4 jam dalam sehari, tidur cepat dan
bangun sebelum subuh. Saya berhenti untuk ngobrol atau sekedar ngejagong
bersama teman dan menggantinya dengan memperbanyak puasa, mengaji, sholat dhuha
dan malam. Saya paham betul, saya tidaklah lebih cerdas dibandingkan banyak
rekan dan pesaing saya yang lain. Prinsip saya hanya satu; saya harus lebih
rajin dan lebih banyak berdoa daripada mereka. Apalagi rekan seperjuangan
Astronomi saya sedari awal di Insan Cendekia, adalah salah satu orang paling
jenius yang saya kenal. Dia selalu bisa menghafal lebih banyak atau menghitung
kalkulus lebih cepat dari saya, sesuatu yang membuat saya bersyukur karenanya.
Dia menjadi tandem saya yang tangguh – rekan belajar sekaligus kompetitor,
membuat saya terpacu untuk belajar lebih jauh dan lebih banyak.
Selain belajar mandiri, kami menghabiskan
banyak waktu di Perpustakaan dengan ‘surat sakti keluar kelas’, - surat yang
paling saya ditunggu-tunggu, surat yang memungkinkan olimpian untuk tidak masuk
kelas regular dan menggantinya dengan belajar mandiri diluar kelas.
Menjadi olimpian di bidang
astronomi, membuat saya tidak hanya mengerjakan soal-soal kalkulus penuh
integral dan turunan memusingkan. Astronomi juga menuntut saya untuk berjibaku
dengan dinginnnya malam larut hingga pagi menjelang. Mengamati dan menikmati kebesaran
Allah, milyaran benda-benda langit dengan kerlap kerlipnya yang subhanallah
begitu indah, dengan teleskop di tengah gelapnya halaman sekolah.
Pelatihan demi pelatihan
dijalani, hingga pergi meninggalkan sekolah untuk camp di Kota Bandung. Setelah
semua perjuangan ini, akhirnya apa yang ditunggupun tiba. Olimpiade Sains
Nasional Manado, 11-16 September 2011.
Sekarang atau Tidak Selamanya
Menjadi siswa kelas XII, menandakan
tahun terakhir mengenyam pendidikan di bangku sekolah, juga menandakan akhir
dari keikutsertaan saya di OSN ini. Ibarat dikata, ini adalah OSN yang yang
pertama sekaligus yang terakhir, sekarang atau tidak selamanya. Menyadari hal
itu, membuat saya benar-benar all out
untuk mengeluarkan segala hal yang saya bisa, berdoa sedalam dan sekeras
mungkin, berharap langit bergetar dan mendengar.
OSN, secara garis besar
dibagi menjadi dua bagian, teori dan praktek, setiap bidang memiliki bentuk
praktek yang unik tergantung kebutuhan masing-masing. Untuk bidang Astronomi,
terdiri dari tiga bagian. Teori, pengolahan data dan praktikum dengan tingkat
kesulitan sendiri-sendiri.
Teori, menuntut kami untuk
bisa tangkas dalam berhitung analitik dan berpikir cepat. Kasus-kasus teranyar
dari tiap bidang juga biasanya keluar. Ditambah, untuk Astronomi peringkat
penilaian ditampilkan secara online yang berganti setiap beberapa jam.
Sempurnalah rasa galau yang dialami peserta.
Pengolahan data, menuntut
kami untuk tangguh dan rajin dalam mengerjakan soal statistika selama waktu
empat jam dimalam hari, dimulai dari jam delapan malam dan diakhiri hingga jam dua
belas tengah malam. Sejujurnya, teori yang digunakan hanya teori statistika
sederhana anak kuliah, tetapi jika kita meleng konsentrasi sedikit,
sudah dapat dipastikan buyar semua perhitungan dan konsep dalam benak.
Pengamatan, kami dituntut
untuk menyelesaikan soal-soal observasi benda langit, diantara tingginya Gunung
Lokon di Tomohon-Manado.
“Coba tunjukkan posisi
Jupiter malam ini dengan teleskop yang sudah disediakan.” Ujar dewan juri memecah
kesunyian malam tempat obeservasi kepadaku.
Dengan gugup aku melihat
koordinat dari Jupiter di kertas ujian. Mengkalkulasikan sedikit di dalam otak,
mengkonversinya dalam koordinat langit malam ini. Akhirnya dengan keringan
dingin, campuran antara gugup dan udara malam Gunung Lokon, saya menggerakkan
teleskop tersebut.
Setelah posisi dirasa tepat,
saya mengintip di balik lensa okuler teleskop. “Gelap” hati saya
mencelos. Saya mencari warna coklat indah yang biasa saya temui, tetapi kosong
- hanya kegelapan yang saya temukan. Tidak ada tanda apapun yang dari Jupiter
yang tampak di teleskop tersebut. Mengingat waktu tes observasi yang terbatas,
mau tidak mau saya menyerahkan hasilnya pada juri.
“Yak, benar mas.” Kata juri.
Waktu itu langit memang sedang mendung, dan tepat menutupi Jupiter yang
membuatnya tidak telihat. Alhamdulillah hasil tes observasi saya menjadi
salah satu yang paling tinggi.
Dimalam Penganugrahan
Setelah seminggu diperas
fisik, lahir dan batin. Tibalah saat paling mendebarkan; malam penganugrahan.
Semua sajian dan pertunjukan di malam ini terasa hambar bagi kami. Semuanya
ditutupi oleh rasa gelisah dan berdebar menanti hasil setelah ini.
“Yak, pengumuman akan segera
kita mulai.” Ujar MC disambut riuh rendah suara peserta. Ada yang semakin
bersemangat, ada jalan-jalan menghilangkan gugup, hingga yang semakin dalam
merapal doa. Semua memiliki harapan yang sama, semoga harapannya dan usahanya
selama ini dikabulkan Sang Pengatur Segala.
Ketika, satu persatu nama
disebutkan. Mulai pecah suara suara haru, lega dan tangis. Semua itu bersahut-sahutan
antara mimpi yang terwujud dan mimpi yang belum tersampaikan. Hati kami yang bidangnya
belum disebutkan semakin berdebar-debar.
“Bidang selanjutnya,
Astronomi.” MC membacakan. Semakin membuat hati saya berdetak tidak karuan.
“Peraih medali perunggu: … ”
ujar MC, dan nama saya tidak ada di dalamnya. Membuat hati saya semakin
gelisah, saya tau dari pengumuman online bahwa teori saya nilainya standar,
tidak bagus-bagus banget.
“Peraih medali perak:
Muhammad Nabil Satria Faradis.”semua orang disekitar saya seakan meloncat. Saya
tidak percaya mendengarnya, saya hanya bisa bersujud “Terimakasih ya Allah.”
Syukur saya.
Ditambah lagi, teman
seperjuanngan saya mendapat medali emas. Sempurna. Kita berjalan bersama menuju
pangung pennganugrahan itu.
Diatas Panggung Kemenangan
Dan di panggung penganugrahan
media OSN di Manado kala itu, dengan medali impian tergantung di leher, seharusnya
saya merasa bahagia. Tetapi, entah mengapa, rasanya tak seperti yang selama ini
saya bayangkan. Meskipun adik saya, yang kini menjadi Insan Cendekia angkatan
21, juga mendapat medali OSN mewakili MI kami di Jawa Timur sana. Seharusnya
semuanya menjadi sempurna.
Tetapi, seperti ada sesuatu
yang kurang, tak lengkap, keanehan yang tidak bisa dijelaskan. Hingga di dalam pesawat
sepanjang perjalanan pulang, saya terus bertanya-tanya apalah gerangan yang
menyumbat rasa bahagia dan senang ini.
Prestasi untuk Dakwah
Jawabannya muncul saat saya
kembali ke sekolah saya, MAN Insan Cendekia. Meninggalkan tempat pelatihan, dan
kembali ke sekolah dan asrama yang sudah lama saya tinggalkan. Saat teman-teman
dan guru-guru menyambut, sumbat rasa haru itu seolah lenyap. Rasa lelah dan
penat usai berbulan bulan pelatihan, mulai dari saya masih tahun pertama, hingga
saat itu tahun terakhir tak lagi terasa. Saat itulah saya menyadari bahwa
alasan sesungguhnya di balik seluruh perjuangan ini bukanlah sekeping medali,
tetapi bagaimana kita menerbitkan senyuman pada orang-orang yang kita cintai.
Saya tersadar bahwa
pencapaian yang kami dapat, prestasi itu, bukan semata-mata milik kita. Banyak
usaha-usaha orang lain yang turut serta di belakang. Orang tua yang turut
mendukung dalam doa, guru-guru yang tidak pernah lelah mendukung kami, Pimpinan
Madrasah yang mengusahakan dan memotivasi kami, semua tutor-mentor pengajar dan
kakak kelas yang membagikan ilmunya kepada kami, hingga teman-teman yang tidak
terhitung berapa kali banyaknya memberi kami semangat ketika kami payah dan
tempat bersandar ketika kami lelah. Ketahuilah bahwa medali itu dipersembahkan
untuk kalian semua.
Poin keempat yang saya
pelajari, bahwa tidak ada kesuksesan karena diri kita sendiri. Semuanya, adalah
rangkaian panjang peluh dan doa dari banyak orang, yang membuat malaikat
tersipu dan langit bergetar mendengarnya. Kombinasi banyak hal yang membuat
Sang Penguasa tidak tega untuk mengabaikannya.
Hingga saat ini, saya
bersyukur pernah berada dalam kontingen olimpian yang luar biasa saat itu.
Saling mengingatkan untuk terus berdoa, membangunkan di malam hari, hingga
sahur bareng di kantin malam-malam. Bersama mereka, kami mendapat 3 emas dan 5
perak pada OSN 2011. Rekor perolehan medali tertinggi Insan Cendekia hingga
tulisan ini dibuat. Perolehan yang mengantarkan Man Insan Cendekia Serpong
menjadi sekolah dengan perolehan medali OSN terbanyak di Indonesia saat itu. Prestasi
bersama yang menggetarkan banyak pihak: sekolah islam bisa juga kok
menggapainya, alhamdulillah.
Poin terakhir yang saya
pelajari. Ini bukanlah akhir, ini adalah awal. Saya percaya, manusia yang
terbaik adalah manusia yang bisa bermanfaat sebanyak mungkin bagi orang lain - Khairunnâs
Anfa’uhum lin nâs. Semakin banyak nikmat dan
berkah yang kita dapat, semakin besar pula kebermanfaatan yang harus kita
berikan. Mungkin itulah jalan yang Sang Rabb siapkan untuk kita, jalan dakwah
dari prestasi yang sudah Ia titipkan kepada kita.
|
Peraih Medai OSN dengan Menteri Agama, Suryadharma Ali Sumber www.kemenag.go.id |
Jalan Masih Panjang
OSN bukanlah akhir,
perjuangan selanjutnya adalah menghabiskan berbulan-bulan tahun terakhir MAN
saya di Bandung, ITB dan Boscha. Demi tujuan merebut tempat menjasi 1 diantara
5 orang perwakilan Indonesia dalam Internasional Olympiad on Astronomy and
Astrophysics (IOAA) di Rio de Janeiro, Brazil 2012 dan juga International
Astronomy Olympiad IAO di Gwangju, Korea Selatan 2012. Berjuang mengalahkan
30 orang medalist OSN, bukan perkara mudah. Pada Pemusatan Pelatihan Nasional
(Pelatnas) tahap pertama, saya beruntung masuk 15 besar untuk masuk seleksi
tahap kedua. Pelatihan tahap kedua menjadi
pelatihan maha-berat, puncak pemilihan untuk menjadi Duta Indonesia dalam ajang
Internasional tersebut. Sayangnya, waktu itu Allah berkehendak lain.
Setidaknya, masih ada wakil Insan Cendekia di bidang lain yang mendapatkan
Perunggu di International Olympiad in Informatics (IOI) Itali 2012.
Medali Itu
Ya. Dulu, medali itu bergitu
saya dambakan, begitu saya inginkan. Berbulan-bulan meninggalkan sekolah dan
orang-orang yang saya cintai. Tetapi, kini rasanya seperti medali kosong.
Medali yang sesunguhnya adalah semua kisah indah yang merangkai semua perjalanan
ini. Pada setiap detiknya, pada setiap langkah yang dibuat, pada setiap detail
yang terjadi. Bertemu orang-orang hebat dari seluruh Indonesia, mengalami
hal-hal yang luar biasa yang belum pernah diimpikan sebelumnya, hingga semua
tangis haru dan tawa itu.
Medali yang sesunguhnya
adalah ketika melihat ayah, ibu, guru-guru dan teman-teman menyambut kita
dengan bangga. Senyuman di bibir mereka, bisa berkontribusi lebih dan
bermanfaat untuk orang lain, itulah seindah-indahnya medali. Sesuatu yang lebih
berharga dari sekeping logam berwarna perunggu, perak ataupun emas. Dan saya
bisa bersyukur diberi kesempatan untuk mendapatkannya, sebuah perjalan yang
dimulai dari dan bersama kalian.
Sebuah Jawaban
Setelah melamun sekian lama,
akhirnya bibir ini mulai menjawab. “Hehe, tau enggak sob. Belajar itu untuk
ibadah dan Prestasi itu untuk dakwah.” Jawabku sambil tersenyum lebar.
*tulisan ini didedikasikan
untuk orangtua, guru-guru, teman-teman angkatan Gycentium Credas Disorator, adik
kelas dan kakak kelas, rekan seperjuangan dan semua pihak yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu. Ketahuilah, tanpa kalian, cerita ini tidak akan pernah
ada.
Untukmu,
Yogyakarta, Maret 2016
Muhammad Nabil Satria Faradis