Nilai Plus Itu Keren
Di antara nilai awal masyarakat Islam adalah bahwa anak perempuan menjadi tanggungan walinya sampai dia menikah, sedangkan anak lelaki berada dalam nafkah orangtuanya hingga dia baligh.
Jadi ada dorongan kuat supaya remaja putra bergegas mandiri. Ketika mereka dewasa, nafkah dari ayahnya barangkali sudah bernilai shadaqah. Sebab status mereka, pria muda pasca-baligh yang masih dibiayai orangtuanya hakikatnya adalah 'fakir miskin dan anak terlantar yang dipelihara oleh keluarganya.'
Begitu.
Barangkali Ayah-Bunda kita yang amat baik hatinya itu memang masih ingin membiayai. Tak apa. Tapi tekad dan upaya sejauh kemampuan untuk segera mandiri pasti jadi kemaslahatan besar.
Saya punya kawan yang di SMA pergi ke sekolah menggunakan angkutan umum atau bersepeda, padahal di rumahnya berjajar mobil dan motor penuh gaya. Ayahnya Rektor sebuah PTS terkemuka, Ibunya punya butik beberapa. Ketika saya tanyakan mengapa tak memakai fasilitas itu semua, dengan senyum dia berkata, "Semuanya bukan milik saya." Ketika kegiatan makin sibuk dan ibunya memaksa memakai sepeda motor, sebuah merk Cina murah dipilihnya.
Begitu aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan kerelawanan senyampang kuliah di Fakultas Kedokteran UGM, berorganisasi, membangun jaringan, mencoba beberapa usaha, hingga membuka lapak konsultasi kesehatan & kebugaran di tiap Sabtu dan Ahad pagi di keramaian orang berolahraga dilakoninya ketika teman-teman lain memilih rehat dari padatnya pendidikan dokter muda.
Ketika yang lain masih gamang, pergaulan luas membuatnya diangkat jadi Dirut sebuah Rumah Sakit Swasta sejak selesai Ko-As. Ketika memutuskan mengambil pendidikan dokter spesialis, tawaran pembiayaan mengalir untuknya.
Nilai plus itu mahal.
Kawan lain sejak SMA juga rajin mencari penghasilan tambahan, padahal Ayahnya seorang pejabat tinggi di Kejaksaan dan Ibunya berkarier bagus di bidang kesehatan.
Sembari kuliah di Fakultas Kedokteran UGM, dia mengajar di beberapa lembaga bimbingan belajar sekaligus. Pulang tengah malam atau jelang pagi dijalani dengan gigih. Bergabung ke Multi Level Marketingpun pernah dibela-belakan. Ajaib di sela-sela itu semuapun menerbitkan 2 judul buku. Lulus cumlaude sebagai dokter, pemerintah provinsi daerah asal istri yang baru dinikahinya langsung menawari beasiswa belajar pendidikan dokter spesialis.
Nilai plus itu keren.
Saya meyakini kita hidup di zaman yang berubah begitu cepat. Jadi dokter 40 tahun lalu mungkin langsung dipredikati 'berbakat kaya'. Sekarang? Berapa biaya menjadi dokter berbanding pendapatannya ketika internship? Berapa seorang dokter umum dibayar untuk menangani 1 pasien BPJS?
Menjadi engineer di bidang minyak dan gas atau pertambangan umumnya, 10 tahun lalu masih dicap 'cepat kaya'. Sekarang? Berapa banyak yang kariernya mapan harus mengambil pilihan pengunduran diri dengan fasilitas perusahaan yang kian dikurangi. Segala perkiraan sepuluh tahun lalu runtuh di depan penemuan baru.
Ah, kita belum bicara membanjirnya tenaga kerja dari bangsa-bangsa lain. The world is hot, crowded, and flat. Pemilik perusahaan bisa berganti dalam hitungan hari. Pekerjaan para ahli di Amerika dari program-coding hingga analisis scan kesehatan kini diborong ke India, dan manufakturnya dikerjakan di Cina.
Maka ini bukan waktunya tawakkal pada ijazah. Tawakkal hanya pada Allah dan memulai upaya mandiri sejak awal adalah konsekuensi bagi yang hendak menyegerakan surga sebelum surga di pernikahannya. Lebih bagus membangun nilai plus sesuai bidang. Tapi jika kesesuaian usaha sejak dini kita dengan bidang kuliah hanya misalnya keterampilan berinteraksi dengan manusia, itu sudah sangat dahsyat.
Tidurlah lebih sedikit. Bersenang-senanglah lebih sedikit, duhai para bujang yang dinanti bidadari berkerudung jenjang. Mandiri sedini mungkin itu kehormatan dunia akhirat.