Oleh
:
Muhammad
Nabil Satria Faradis
Saya sebagai generasi muda
Islam-Indonesia, yang saat ini menuntut ilmu di Jurusan Teknik Mesin, Fakultas
Teknik, Univesitas Gajah Mada Yogyakarta, secara moral dituntuk untuk turut
andil dalam memajukan agama dan masa depan Bangsa Indonesia. Pelajaran kehidupan yang didapat dari orang
tua, lingkungan sekolah, mulai dari Madrsah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Malang I
sampai Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan
Cedekia bertaraf Internasional di Serpong (yang dididikan oleh BJ Habibi),
telah menenpa diri saya untuk menjadi generasi muda yang mempunyai visi, prestasi, mandiri, dan islami.[1] Hadis Nabi “Khairunnâs Anfa’uhum lin nâs”, sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia (lain), adalah doktrin yang juga sering saya
dapatkan, selain harus mempunyai optimisme
dan kepercayaan diri dalam menghadapi masa depan.
Pengalaman hidup diatas
membuat saya berkeyakinan bahwa: Keyakinan
diri dan kemapuan kita menghadapi masa depan sangat tergantung pada diri kita
dan bagaimana cara berfikir kita.
Jika agama Islam mengajarkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum
sehingga mereka mengubah apa yang ada
dalam diri mereka (Mâ bi anfusihim).[2] Tafsir ayat ini menurut Nurcholis Madjid,
seorang cendekiawan muslim Indonesia yang sangat populer, adalah perubahan
nasib sangat bergantung kepada perubahan dan cara berfikir tadi. Sebab cara berfikir merupakan salah satu yang
paling penting dalam kehidupan kita.
Kalau kita berbicara
tentang cara berfikir, maka perhatian kita tentunya kepada sumber daya manusia
(SDM). Semula orang mengira bahwa negara
yang mempunyai sumber daya alam (SDA) yang besar (seperti Indonesia) merupakan jaminan kemakmuran bagi rakyatnya. Tetapi kenyataan berbicara lain,
negara-negara yang minim SDA ternyata mampu memberikan kesejahteraan lebih bagi
rakyatnya, misalnya Jepang, korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Singapura dan
lain-lain, kerena mereka mempunyai SDM
yang berkualitas unggul, dalam arti tarap pendidikan yang baik. Dari sini dapat disimpulkan bawa faktor
manusia akan jauh lebih menentukan dibandingkan dengan sumber daya alam. Oleh karena itu segi pendidikan terutama
pendidikan keterampilan, pembinaan SDM unggul yang mengintegrasikan antara ilmu
dan agama sangat diperlukan.[3]
Yang pada akhirnya akan melahirkan generasi muda yang mempunyai kreatifitas, kemandirian dan etos ilmiah
Islam.
Etos ilmiah Islam yang
menjadi pangkal etos ilmiah modern sekarang ini. Dasar
dari etor ilmiah islam, saya mengambil dari wahyu pertama yang diterima oleh
Nabi Muhammad : Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Menciptakan (Iqra! Bismi Rabbikalladzii Kholaq)[4]. Bacalah,
tidak harus membaca secara lahiriah, tetapi juga berawal dari
sikap-sikap memperhatikan dan mepelajari dari alam sekeliling kita, baik alam
raya dan luar angkasa (seperti yang pernah saya pelajari waktu mengikti
pelatnas Astronomi di ITB Bandung), maupun alam kecil seperti manusia dan
kehidupannya. Namum berbeda dengan etos ilmiah Barat, etos ilmiah Islam
bertolak dari rasa keimanan dan taqwa (Bismi Rabbika – Dengan (menyebut) nama
Tuhanmu) , kemudian membimbing dan mendorong orang ke arak
tingkat keimanan dan takwa yang lebih tinggi dan mendalam. Inilah yang dikehendaki oleh al-Qur’an yang
mendorong pemeluknya untuk memperhatikan alam sekelilingnya. Maka para ilmuan
Islam, intelektual Islam yang kenal dengan sebutan “ulama” adalah kelompok masyarakat
yang paling mampu menjalankan keimanan, ketaktawaan dan berakhlah mulia. Saya kira inilah maksud ayat suci “ Innama yakhsyallaha min ‘ibadihil ‘ulama’[5] yang artinya: ‘Sesungguhnya yang benar-benar
takwa kepada Allah dari kalangan hamba-nya ialah para ulama (ilmuan atau
intlektual).
Berdasarkan hal di atas,
maka pembinaan SDM dan pengembangan etos keilmuan di negeri tercinta Indonesia ini dapat mengacu sepenuhnya
kepada etos keilmuan yang diajarkan Islam yang telah dibuktikan dalam
sejarahnya yang panjang (perlu diingat bahwa masa kejayaan Islam dahulu masih
dua-tiga kali lipat lebih panjang dari pada kejayaan Barat modern sekarang
ini). Oleh karena itu,menurut dinamika
etos keilmuan Islam, untuk membuat kita mampu menghadapi tantangan zaman dan
meresponnya, kita harus mampu dengan cermat dan cekatan mempelajari gejala
alam, dan perkembangan sosial yang terjadi.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
***
Yogyakarta, Juni 2013
*essay yang saya buat untuk mendapat beasiswa Lembaga Pendidikan Insani
Behind the story:
LPI adalah hal paling indah yang saya dapat selama kuliah. LPI sudah mengenalkan saya pada banyak kakak-kakak dan teman-teman yang luar biasa, membimbing saya dibelantara kuliah ini, keluarga saya yang paling dekat, teman kamar - project - diskusi - belajar yang asik. LPI memperkuat pondasi keislaman saya dengan kajian-kajian, kegiatan, mengurus masjid, hingga mental dakwah yang dibangun. Terimakasih banyak.
[1] “Prestasi, Mandiri, dan Islami” adalah motto MAN Insan Cendikia yang terpampang dimana-mana,
terutama yang pintu gerbang tepahat begitu besar.
[3] Lembaga Pendidikan Insani, dalam merekrut Sumber Daya Insani yang
unggul, untuk digembleng menjadi generasi muda Islam-Indonesia yang mandiri dan
berkarakter, perlu dicontoh oleh lembaga-lembaga lain, untuk menyongsong
Indonesia gemilang.
[5] (. (QS. Al-Fathir [35] : 28
0 comments:
Post a Comment